Sabtu, Mei 26, 2012

Isu Gempa dan Tsunami di Kota Padang

Isu Gempa dan Tsunami di Padang
Surat Gubernur Sumbar tentang Gempa
Isu Gempa dan Tsunami di Kota Padang kembali muncul kepermukaan. Kota Padang seolah tidak hentinya dibuat resah oleh isu gempa dan tsunami sejak terjadinya gempa besar dan tsunami di Aceh tahun 2004 silam. Warga Kota Padang dan masyarakat Sumatera Barat di sepanjang pesisir pantai (Kabupaten Pesisir Selatan, Kepulauan Mentawai, Kota Pariaman, Padang Pariaman, Agam dan Pasaman Barat) akhir-akhir ini dibuat resah dengan adanya isu gempa bumi dan tsunami yang akan terjadi pada dalam rentang waktu bulan April sampai Juni 2012.

Hal ini disebabkan surat pernyataan dan surat edaran Gubernur Provinsi Sumatera Barat, Irwan Prayitno, tanggal 27 April 2012 yang berisi tentang Siaga Darurat Gempa Bumi dan Tsunami seperti yang dilihat disamping (sumber: Pusdalops BPBD Provinsi Sumatera Barat). Surat yang ditembuskan juga ke media massa ini sontak saja membuat masyarakat cemas. Beredar isu dalam waktu dekat akan terjadi tsunami di Padang pada bulan Mei atau bulan Juni nanti. Surat ini telah berkembang menjadi isu yang meresahkan.

Memang tidak salah masyarakat kalau mengartikan bahwa pemerintah provinsi sudah mampu “meramal” akan terjadinya gempa karena dalam surat tersebut jelas-jelas disebuatkan ada tanggal dan bulannya. Ini bertentangan dengan pengetahuan ilmiah dan sosialisasi yang dilakukan selama ini bahwa bencana gempa itu tidak bisa diprediksi atau diramalkan kapan akan terjadi. Yang bisa dilakukan hanyalah meneliti potensi kegempaan, bukan kapan gempa akan terjadi. Dengan adanya surat ini seolah pemerintah mencoba keluar dari kaidah keilmuan itu. Saya sendiri sebagai orang awam jadi geleng-geleng kepala dengan kebijakan aneh ini. Bertentang dengan apa yang disosialisasikan pemerintah sendiri melalui BPBD.

Mungkin pemerintah Provinsi Sumatera Barat ingin mendorong kesiapsiagaan terhadap bencana gempa dan tsunami disemua tingkatan, tapi mengeluarkan surat yang berisi tanggal dan bulan itu jelas keliru untuk kasus bencana gempa dan tsunami. Karena bencana gempa tidak seperti bencana alam lainnya yang bisa diamati gejalanya. Misalnya jika hujan terus menerus dan pergerakan tanah terdeteksi maka siaga darurat untuk bencana banjir atau longsor bisa diberlakukan. Atau gunung berapi mulai terlihat aktif mengeluarkan asap, suhu disekitar gunung meningkat dan keluarnya satwa yang jarang ditemui bisa juga untuk menjadi dasar mengambil kebijakan kedaruratan bencana letusan gunung. Kedua contoh tersebut bisa diperkirakan rentang waktunya.

Kalau gempa apa? Siapa yang bisa mendeteksi bencana gempa akan terjadi? Tidak ilmiah juga kalau kejadian gempa bumi Simeuleu Aceh pada tanggal 11 September 2012 lalu dijadikan indikator kalau di Padang akan terjadi gempa dan tsunami pada rentang waktu April - Mei – Juni nanti.

Surat ini awalnya merupakan tindak lanjut dari Surat Mendagri nomor : 360/1521/12, tanggal 20 April 2012 perihal Kewaspadaan dan Siaga Bencana Gempa Bumi dan Tsunami. Namun tidak ada himbauan untuk memberlakukan "siaga darurat" seperti yang disebut dalam surat gubernur itu. Jadi, kalau surat edaran mendagri disikapi dengan surat edaran yang mengerucut pada pemberlakukan siaga darurat, jelas ini tindakan yang terlalu reaktif (atau terlalu kreatif?)

Saya setuju kalau surat tersebut untuk mendorong kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap bencana gempa dan tsunami, tapi harus dipahami juga kewaspadaan dan kesiapsiagaan itu dilakukan sepanjang waktu selama terdapat potensi atau ancaman bahaya, dan tidak bisa ditentukan kapan waktunya akan terjadi. Kalaupun gempa dan tsunami memang akan terjadi dalam rentang waktu yang disebutkan itu, saya yakin seratus persen bukan karena hebatnya ramalan dalam surat gubernur itu, tetapi kebetulan saja.

Entah ada motivasi lain dikeluarkannya surat tersebut atau tidak, yang pasti akan ada dampaknya. Pertama, bagi masyarakat ini akan menjadi beban psikososial karena isu gempa dan tsunami ini akan mempengaruhi aktivitas masyarakat sehari-hari. Sampai saat ini dampak yang sudah terlihat adalah jumlah pengunjung dan aktivitas jual beli di sejumlah pasar tradisional, seperti Pasar Pagi Padang, sepi sejak adanya isu ini. Jumlah pengunjung pantai padang juga berkurang dan aktivitas warga ke tengah kota jadi berkurang. Rasa nyaman dan aman dari ancaman bencana menjadi berkurang di Kota Padang dan daerah lainnya. Kedua; pasti ada implikasi keuangan negara terhadap penetapan status ini. Sudah satu bulan berlalu gempa dan tsunami yang disebut tidak datang (bukan berharap datang ya :p), tapi tidak terdengar apa upaya pemerintah (tentu saja melalui BPBD) tentang status yang telah ditetapkan. Dana siap pakai atau yang disebut juga dana on call sudah pasti turun, tapi berapa jumlahnya dan untuk apa digunakan tidak ada terdengar kabarnya.

Sebagai warga kota Padang yang merasakan dan melihat dampak penetapan status ini, saya hanya bisa berdoa semoga segala ancaman bencana dijauhkan dari Kota Tercinta ini. Manusia hanya bisa berusaha, Allah yang akan menentukan hasilnya dan memberi kepastian apa yang akan terjadi.

Tidak ada komentar: