Kota Padang tidak hanya terkenal dengan julukan kota buah bengkoang/bengkuang/bingkuang/mingkuang (anda termasuk melafaskan yang mana? :D ) dan roman Siti Nurbaya, tetapi juga dengan legenda si Malin Kundang.
Hari minggu kemarin, saya sekeluarga beserta belasan famili dari pihak ortu lak-laki (ada nenek, adik-adik, sepupu, mande (saya panggil ante) dan anak-anaknya, mengunjungi kampung anak durhaka si Malin Kundang, pantai Air Manis yang terletak di sebelah selatan Kota Padang. Ancang-ancang awalnya, kami merencakan berjalan kaki/hiking dari jembatan Siti Nurbaya yang terletak di kawasan Muaro (Muara) Padang, menyusuri gunung Padang (persisnya bukit, bukan gunung) yang banyak terdapat kuburan cina-nya. Orang bilang di salah satu sudut gunung ini terdapat kuburan Siti Nurbaya yang berada di dalam goa (he he he ada-ada saja kreasi masyarakat di sana, padahal cerita kasih tak sampai Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri itukan cuma sebuah roman karangan sastrawan Marah Rusli :t . Lha..ceritanya kok beralih ke Siti Nurbaya? :$
Okay..okay, kembali ke lap... (emangnya Tukul :r ). Kembali ke rencana rute perjalanan. Tapi berhubung anggota banyak yang anak-anak dan persiapan molor sampai siang hari, akhirnya kami berangkat dengan mobil saja.
Singkat kata, di tengah perjalanan hujan lebat plus badai menghadang kami. Hujan menyambut ketika melewati punggung bukit yang memisahkan kawasan pantai Air Manis dengan kawasan SMA 6 Padang (saya tidak tahu persis nama daerahnya, mungkin saja namanya Air Camar). Patah semangat juga awalnya, tapi untung saja tidak ada yang mengusulkan pulang saja. Kasihan juga anggota rombongan (khususnya anak-anak) yang belum pernah kesana, jauh-jauh berlibur ke Padang tapi tidak sampai ke batu Malin Kundang. Di sebuah gerbang mendekati pantai, kami diminta membayar uang masuk 30 ribu (untuk satu mobil), tidak tahu apakah jumlah itu resmi atau tidak. Sebagian rombongan, terutama yang mengeluarkan uang untuk membayar pungutan "retribusi", makin cemberut.
Rombongan juga masih terbawa suasana tegang, karena tadi di sebuah tanjakan, ada bapak-bapak pengendara motor beserta istri yang diboncengnya menggelinding lagi ke bawah karena motornya tidak sanggup mendaki kemiringan yang hampir 30 derajat. Untung saja tidak ada yang terluka walau si bapak telihat shock karena stang motor menghimpit pahanya dan kepalanya terbentur ke aspal. Kejadiannya persis di depan kami. Hhhh...kok aneh ya hari ini pikirku? Mulai bete... :f pasti pantainya juga sepi, hari hujan sih..
Eee...gak tahunya, setiba di lokasi pantai, ternyata masih saja banyak orang yang bermain ombak di tengah hujan. Asik...semangat lagi. Begitu turun dari mobil, cari pondok sebagai base, lalu semua ikut-ikutan berlarian ke pantai mengejar ombak. Tidak peduli hujan!, eits..kecuali nenek dan ibu-ibu yang bawa anak kecil ya.
Kurang lebih 4 jam kami di sana, foto-foto, di setiap sudut (tidak ketinggalan di bekas kapal Malin Kundang yang sudah jadi batu bersama Malin Kundangnya), makan-makan, mandi-mandi, bercanda de el el. Aneh juga, hujan-hujan begitu ternyata tidak mengurangi minat pengunjung (termasuk kami) untuk tetap ceria bermain di pantai itu. Tetap ceria bok!
Rombongan yang sebagian besar terdiri dari anak-anak itu memang cocok menjadikan objek wisata Batu Malin Kundang sebagai tujuan wisata edukasi moral karena dengan mengingatkan legenda Malin Kundang itu diharapkan mereka menjadi anak yang santun dan tidak durhaka terhadap orang tua.
Bagaimana dengan Anda? pernahkah ke Batu Malin Kundang si anak durhaka ini? Bagi anda yang penasaran dengan bentuk batu itu bisa dilihat di gambar di atas (lihat di depan saudara-saudara saya yang berpose itu), Malin Kundang-nya sedang bersujud minta ampun kepada ibunya (waktu itu) sesaat sebelum berubah jadi batu. Salut buat tim dari Universitas Negeri Padang yang merekonstruksi batu ini sehingga menjadi jelas wujudnya.
1 komentar:
Saya belum pernah berkunjung ke sana.
By writer of Hajji Book:
40 Hari Di Tanah Suci
Thank you
Posting Komentar